The Next Generation Traffic Network

Rabu, 26 Maret 2014

Pengembangan Kurikulum di Indonesia 1947 – 2013

Pengertian Umum Kurikulum
Prof. Dr. Engkoswara, guru besar Universitas Pendidikan Indonesia Bandung telah membuat 4 (empat) rumus pengertian kurikulum, lengkap dengan visualisasinya. Pertama, kurikulum adalah jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Kedua, kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran. Keiga, kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran dan kegiata-kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik. Keempat, kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran dan kegiatan-kegiatan, serta segala sesuati yang akan berpengaruh dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Rumus ini memudahkan kita untuk memahami pengertian kurikulum. Rumus ini sama sekali tidak melenceng dari definisi yang telah dikemukakan para ahli, misalnya Hilda Taba menjelaskan dengan amat singkat bahwa “curriculum is a plan of learning”. Demikian juga bila dibandingkan dengan pengertian kurikulum dalam Pasal 1 butir 19 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
Kurikulum Menggambarkan Dinamika Pembangunan Pendidikan
Susungguhnya kurikulum dapat menggambarkan dinamika pembangunan pendidikan yang ujung-ujungnya berupaya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Lebih luas lagi juga menggambarkan dinamika pembangunan nasional.
Istilah kurikulum memang belum lahir ketika pemimpin tertinggi negeri ini telah berhasil mengumandangkan teks proklamasi ke seluruh penjuru dunia. Tetapi yang patut kita banggakan, dua tahun sejak proklamasi, negeri ini telah memiliki kurikulum sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Kurikulum ini dinamakan dengan Rencana Pelajaran 1947.
Lebih dari itu, sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia telah menetapkan tujuan yang jelas kemana NKRI akan dibawa. Dasar negara telah ditetapkan sejak prakemedekaan, yakni Pancasila, lengkap dengan lambang negara, motto, lagu kebangsaan, dan bahkan konstitusi yang di dalamnya telah memuat empat tujuan negara yang akan dicapai. Salah satu tujuan itu dirumuskan dengan sangat tepat, yakni “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Penulis sempat bertanya-tanya tentang rumusan tujuan yang satu ini. Mmngapa “mencerdaskan”? Bukan yang lain. Oh … ternyata konsep “mencardaskan” itu telah dijelaskan oleh Horard Gardner setelah dua puluh delapan tahun kemudian, dalam bukunya berjudul Frames od Mind: the Tehory of Multiple Intelligences. Dalam buku ini, Howard Gardner menjelaskan tentang tujuh tipe kecerdasan manusia. Singkatnya, yang keceerdasan itu bukan hanya kecerdasan intelektual (otak kiri) tetapi juga tipe kecerdasan yang lain, termasuk kecerdasan spiritual, emosional, bahkan juga kinestetiknya. Wallahu alam. Penulis menyadari bahwa para pendiri NKRI telah begitu tepat dalam merumuskan tujuan negeri ini harus dibangun, termasuk membangun anak-anak bangsa ini di masa depan.
Dinamika Pengembangan Kurikulum dan Payung Hukumnya
Salah satu faktor yang telah mendorong untuk mengembangkan kurikulum adalah amanat Undang-Undang tentang Sitem Pendidikan Nasional. Kurikulum pertama di Indonesia telah lahir sebagai penjabaran amanat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran, Undnag-Undang Nomor 12 Tahun 1954, UU Nomor 22 Tahun 1961, UU Nomor 2 Tahun 1989, dan akhirnya UU Nomor20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di samping itu, tuntutan globalisasi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknolgi juga ikut mendorong terjadinya perbaikan dan pengembangan kurikulum. Sejak Indonesia merdeka sampai dengan penerapan Kurikulum 2013, negeri ini telah memiliki sekian banyak kurikulum, yakni: 1) Rencana Pelajaran 1947, 2) Rencana Pendidikan 1950, 3) Rencana Pendidikan 1958, 4) Rencana Pendidikan 1964, 5) Kurikulum 1968, 6) Kurikulum 1974, 7) Kurikulum 1978, 8) Kurikulum 1984, 9) Kurikulum 1994, 10) Kurikulum 2004, dan 11) Kurikulum 2013, Dalam hal ini, dibandingkan negara-negara yang sudah maju yang pada umumnya masih mempunyai kurikulum nasional atau kurikulum negara bagian, justru Indonesia telah lebih dahulu melakukan lompatan yang demikian drastis, karena penyusunan kurikulum di Indonesia telah diserahkan kepada satuan pendidikan sekolah (school-based curriculum) dengan KTSP-nya, selaras dengan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah (school-based curriculum). Dalam hal ini, pemerintah cq Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanya menyusun standar isi kurikulum dan panduan penyusunan kurikulumnya.
Indonesia memang sangat dinamis dalam proses pengembangan kurikulum. Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan memerlukan tiga komponen utama pendidikan, yakni siswa, guru, dan kuriku4lum. Di samping tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengembangan kurikulum baru seharusnya memerlukan payung hukum yang kuat berupa Undang-Undang. 
Kelahiran Rencana Pelajaran 1947 memang menjadi kurikulum darurat karena belum ada amanat dari payung hukum yang kuat, karena payung hukumnya baru lahir dengan UU Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran. Rencana Pelajaran 1950 sebenarnya merupakan reparasi dari Rencana Pelajaran 1947. Sedang Rencana Pendidikan (?) 1958 telah lahir sebagai implementasi dari UU Nomor 14 Tahun 1954, dan Rencana Pendidikan 1964 merupakan perbaikan dari Rendana Pendidikan 1958, sekaligus  sebagai implementasi UU Nomor 22 Tahun 1961 tentang Sistem Pendidikan Nasional.  Rencana Pendidikan 1964 pun kemudian disempurnakan menjadi Kurikulum 1968, sebagai kurikulum pertama yang menggunakan pendekatan integrasi (inntegrated curriculum) untuk menggantikan pendekatan kurikulum sebelumnya yang selama ini menggunakan pendekatan terpisiah-pisah (separated curriculum). Perbaikan di sana-sini kurikulum telah terjadi yang melahirkan kurikulum, baik yang lahir prematur atau pun yang lahir memang sudah waktunya, yakni Kurikulum 1974, Kurikulum 1978, dan kemudian lahir Kurikulum 1984, dan terakhir Kurikulum KBK pada tahun 1994 yang kemudian menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), dan sekarang ini telah lahir lagi Kurikulum 2013, yang meneruskan pendekaktan kurikulum terintegrasi atau kini menamakan diri sebagai kurikulum yang menggunakan pendekatan pembelajaran tematik integratif di satuan pendidikan Sekolah Dasar. 
Memelajari secara inten tentang sejarah pengembangan kurikulum menjadi kegiatan yang sangat menarik untuk dilakukan oleh para peneliti dalam bidang pendidikan, termasuk melakukan kajian tentang lahir dan matinya kebijakan pendidikan di negeri ini. Penuliis begitu kagum terhadap gagasan penulisan buku Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendi-dikan Indonesia oleh Bapak Wardiman Djojonegoro. Buku yang tebalnya lebih dari 500 halaman itu merupakan produk luar biasa yang sangat perlu dibaca oleh seluruh elemen praktisi pendidikan di tanah air. Dalam Kata Pengantarnya, beliau menyatakan dan menjelaskan secara santun sebagai berikut:
“Disadari bahwa penyajian materi dalam buku ini belum dapat memenuhi seluruh harapan, sehingga beberapa perbaikan dan penyempurnaan masih diperlukan. Oleh karena itu, saran-saran perbaikan dan masukan untuk penyempurnaan terbitan ini, dalam waktu-waktu berikutnya, sangat diharapkan”  (hal. ix).
Pertanyaannya, kapan akan dilakukan? Oleh siapa? Penulis berharap mudah-mudahan ada tangan emas yang bisa melakukan kajian tentang evaluasi kebijakan pendidikan, termasuk kebijakan tentang kurikulum di Indonesia.
Akhir Kata
Memang, tidak ada yang tidak berubah di dunia ini, kecuali kata perubahan itu sendiri. Kurikulum pun demikian pula, yang dari waktu ke waktu memang juga harus diubah dan disempurnakan melalui proses evaluasi yang berkelanjutan. Kurikulum 2013 juga harus dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Temuan-temuan hasil evaluasi atau hasis sensus, misalnya masih rendahnya pemahaman guru tentang konsep pembelajaran tematik (Kompas, 12 November 2013), harus menjadi bahan pelajaran yang sangat berharga untuk perbaikan dalam pelaksanaan kurikulum kita. Amin.

0 komentar:

Posting Komentar