The Next Generation Traffic Network

Rabu, 26 Maret 2014

Guru, Kurikulum, dan Kualitas Pendidikan

 Republika, 7 Januari 2013, dalam kolom Guru Menulis, Ramadhan Hamdani, S.Pd, guru SDIT Alamy Subang, telah menulis dengan tajuk Ironi Pendidikan Agama Islam. Tulisan ini dimaksudkan sebagai masukan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang saat ini sedang sibuk untuk menyusun kurikulum baru. Ada dua hal yang dikemukakan dalam tulisan itu. Pertama, jumlah jam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) per minggu yang porsinya dinilai sangat sedikit dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Kedua, kurikulum yang berlaku masih sarat dengan ranah kognitif. Penulis menilai bahwa kedua hal ini sebagai sesuatu yang sangat ironis jika dikaitkan dengan kebijakan untuk melaksanakan pendidikan karakter, khususnya untuk melahirkan peserta didik yang berakhlak mulia, dan memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Di samping itu, upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang saat ini sedang bekerja keras untuk mengadakan perubahan kurikulum, nyaris tidak searah dengan masalah yang baru-baru ini dilaporkan oleh Bank Dunia, tentang gagalnya program sertifikasi guru, yang dinilai tidak berpengaruh terhadap kualitas atau pun prestasi, baik guru maupun peserta didiknya. Dengan demikian, jika orientasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui perubahan kurikulum, Bank Dunia justru mengisyaratkan tentang pentingnya upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan memperbaikai program sertifikasi gurunya.
Dimensi Mutu Pendidikan
Guru, kurikulum, dan peserta didik dapat disebut sebagai komponen utama dalam sistem pendidikan nasional. Ketidaksiapan salah satu komponen dari ketiga komponen tersebut akan menyebabkan tidak dapat berlangsungnya proses pendidikan. Oleh karena itu maka ketiga komponen tersebut merupakan komponen tritunggal yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain.
Dalam penyelenggaraan pendidikan sebagai suatu sistem, UNICEF telah menerbitkan paper bertajuk “Defining Quality in Education” atau Mendefinisikan Kualitas dalam Pendidikan, yang memaparkan bahwa hakikat pendidikan yang berkualitas meliputi beberapa komponen sebagai berikut:
Pertama, learners who are healthy, well-nourished and ready to participate and learn, and supported in learnin bu their families and communities;
Kedua, environement that are healthy, safe, protective and gender sensitive, and provide adequate resources and facilities;
Ketiga, content that is reflected in relevant curricula and materials for the acquisition of basic skills, especially in the areas of literacy, numeracy and skills for life, and knowldge in such areas as gender, health, nutrition, HIV/AIDS prevention and peace;
Kempat, processes through which trained teachers use child-centred teaching approaches in well-managed classrooms ans schoolss and skillful assessment to facilitate learning and reduce disparities;
Kelima, outcomes that encompass knowledge, skills and attitudes, and are linked to national goals for education and positive participation in society.
Singkat kata, dimensi mutu pendidikan tersebut adalah: 1) peserta didik, 2) lingkungan, 3) kurikulum, 4) proses pengajaran dan pembelajaran, yang dimotori oleh adanya tenaga pendidikan yang memiliki kualifikasi dan kompetensi sesuai yang ditetapkan dalam standar, 5) serta hasil belajar peserta didik sebagaimana yang diamanatkan dalam tujuan pendidikan nasional. Dari kelima dimensi pendidikan tersebut, semuanya memang memiliki dampak yang signifikan terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, dimensi yang dewasa ini telah memperoleh perhatian adalah guru dengan program sertifikasinya, dan kurikulum dengan upaya untuk meninjau kembali kurikulum yang kini berlaku dengan melakukan upaya penyempurnaan standar isi yang ditetapkan secara nasional, menyusun panduan penyusunan kutikulum yang akan dilaksanakan oleh pihak satuan pendidikan sekolah.
Guru dan Kurikulum
Sesungguhnya tidak ada satu komponen pendidikan pun yang secara sendirian berpengaruh terhadap upaya peningkatan pendidikan. Semua komponen pendidikan akan berpengaruh terhadap upaya pendidikan sesuai dengan perannya masing-masing. Semua komponen dalam sistem pendidikan secara singergis akan saling berpengaruh terhadap mutu pendidikan, dalam hal ini termasuk kurikulum. Kurikulum tidak akan berpengaruh terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan jika komponen kurikulum tidak bersinergi dengan komponen pendidikan yang lain. Bertand Russel umalah percaya bahwa “More important than the curriculum is the question of the methods of teaching and spirit in which the teaching is given”. Lebih penting daripada kurikulum adalah pertanyaan tentang metode mengajar dan spirit yang diberikan dalam proses pengajaran. Artinya, memperbaiki atau meningkatkan mutu pengajaran dengan menggunakan metode mengajar yang PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan) atau juga dikenal dengan pembelajaran yang menggunakan pendekatan JAL (joyful active learning) dipandang lebih besar pengaruhnya dibandingkan dengan hanya mengutak-atik kurikulumnya saja. Pada awal era reformasi, Muhammad Surya, sebagai ketua PGRI, menyatakan sebagai berikut: “semua keberhasilan agenda reformasi pendidikan, pada akhirnya ditentukan oleh unsur yang berada di front terdepan, yaitu guru. Hak-hak guru sebagai pribadi, pemangku profesi keguruan, anggota masyarakat dan warga negara yang selama ini terabaikan, perlu mendapat prioritas dalam reformasi”.
Itulah sebabnya ketika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan getol berupaya untuk mengadakan perubahan kurikulum, maka sesungguhnya upaya untuk memprioritaskan kebijakan terhadap guru tidaklah harus berhenti sampai di sini, dan memalingkan program yang sudah berjalan, namun masih menghadapi pelbagai masalah di hadapan. Dengan kata lain, program peningkatan kompetensi dan kualifikasi pendidik dan tenaga pendidikan yang lain tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Laporan Bank Dunia tentang tidak adanya dampak sertifikasi guru terhadap prestasi guru dan peserta didik, sudah barang tentu harus menjadi  cambuk untuk melakukan evaluasi dalam pelaksanaan program sertifikasi guru, menganalisis SWOT tentang kebijakan dan pelaksanaan program sertifikasi guru tersebut, serta merancang kembali program tersebut.
Berdasarkan pengamatan lapangan, ada beberapa kelemahan dalam pelaksanaan program sertifikasi guru para khususnya, dan penyelenggaraan pendidikan pada umumnya. Pertama, proses penilaian guru dengan portofolio ternyata sangat rawan dengan cara tidak jujur, yaitu dengan cara menjiplak dan bahkan dengan fotokopi karya guru yang lain. Kedua, proses penentuan pejabat dalam bidang pendidikan di daerah amat dipengaruhi oleh proses dukung mendukung dalam pemilihan kepala daerah, tidak ditentukan secara obyektif berdasarkan ketentuan yang berlaku. Ketiga, penentuan prosesntase kelulusan dalam ujian nasional juga ditentukan atas perintah atasan yang terkait dengan hasil pemilihan kepala daerah tersebut.
Refleksi
Dari kurikulum yang pertama dimiliki negeri ini, yakni yang dikenal dengan nama Rencana Pelajaran 1947 sampai dengan lahirnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang kemudian yang dalam pelaksanaan kemudian dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2000-an, Indonesia telah mengalami sepuluh kali perubahan. Dengan demikian, secara rerata perubahan kurikulum di Indonesia telah berlangsung antara 6 sampai dengan 7 tahun sekali.
Perubahan kurikulum merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk menyesuaikan dengan kebutuhan perkembangan pendidikan yang sedang berjalan, searah sinergi dengan komponen pendidikan yang lain, dalam upaya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Dalam hal ini, semua komponen dalam sistem pendidikan nasional masing-masing memiliki pengaruh terhadap upaya menciptakan pendidikan yang bermutu.
Di samping kurikulum, komponen guru menduduki aspek yang fundamental sebagai upaya untuk menghasilkan pendidikan yang bermutu. Oleh karena itu, kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan program sertifikasi guru yang dinilai oleh Bank Dunia tidak berdampak pada prestasi guru dan peserta didiknya harus dapat dirancang ulang oleh pemerintah. Dalam buku Teachers in a Changing World, Digumarti Bhaskara Rao mengingatkan kepada kita bahwa:
Pertama, profesionalisasi aktivitas pengajaran merupakan strategi terbaik jangka panjang utnuk meningkatkan hasil pendidikan, dan dalam waktu yang bersamaan juga kondisi kerja pada guru;
Kedua, pelatihan pre-service dan in-service harus dimodifikasi secara mendasar untuk dapat menghasilkan guru yang menguasai strategi dan pendekatan pengajaran dan pembelajaran;
Ketiga, para guru harus belajar teknologi informasi;
Keempat, kita harus lebih dan lebih memiliki harapan tentang guru masa depan, apakah itu yang terkait dengan pelatihan tentang etika keguruan, pelatihan tentang toleransi, kemampuan untuk mengelola ketidakmenentuan, kreativitas, solidaritas atau partisipasi. Pada guru tidak hanya dihargai tidak hanya karena pengetahuan dan kecakapan tekninya, tetapi juga karena kualitas personalnya dalam menjalankan tugas profesionalnya sesuai dengan standar kompetensi guru.

0 komentar:

Posting Komentar