The Next Generation Traffic Network

Minggu, 19 Mei 2013

Cerbung Pusara di Tanah Berempunya Part 1


       Mentari sepertinya masih bersembunyi dan tak mau menunjukkan eksistensinya dibalik putaran bumi.Tetapi nampak meganya telah memancar dari sisi timur tempat kehidupan manusia.Sebelumnya Pak Suwito Utomo sudah terbangun dari tidurnya yang baru beberapa jam.Saat beliau membuka mata,masih saja terngiang tentang karut marut problema yang sedang beliau hadapi.Tetapi kesunyian begitu mendamaikan dan memecah sedikit kegundahan.Angin juga tak begitu besar berhembus yang mengurangi udara dingin di desa Karamanca.Begitu komplek,  warna dipagi itu.
         Ketika jarum jam menunjukkan pukul 05.00 Pak Tomo(begitu orang-orang memanggilnya) sudah beranjak keluar rumah untuk menyirami tanaman-tanaman miliknya.Hampir semua jenis tanaman ada di pekarangan rumahnya.Namun,tanaman Durianlah yang paling beliau sukai.Ada berbagai jenis tanaman durian di pekarangannya.Misalnya saja durian Kaniurin,Sitokong,Kokmaetu,durian lokal,dan yang terbaru adalah jenis durian Montong yang baru saja beliau beli beberapa hari sebelumnya.Beliau memang seorang pecinta tanaman sejati,meskipun seringkali tanaman buah yang beliau beli tidak menghasilkan buah secara maksimal,beliau tetap mencoba.Paling tidak semua anggota keluarganya dapat merasakan nikmatnya buah-buahan dari tanaman yang beliau tanam.Tak jarang tetangga-tetangga juga mendapat bagian meski sekedar mencicipi.
       Terlihat samar-samar dibalik gelapnya pagi Pak Tomo menjinjing tembor (sebutan orang didesa Karamanca terhadap alat untuk mengisi air yang digunakan untuk menyirami tanaman) yang penuh dengan air dan menyiramkannya keseluruh tanaman miliknya.Terlihat begitu terbiasa beliau melakukan hal itu,hingga sepertinya sudah hafal betul cara dan takaran dalam menyiram tumbuh-tumbuhan.Meski pada dasarnya beliau adalah seorang pensiunan guru Sekolah Dasar, beliau terlihat begitu terampilnya merawat tanaman-tanaman tersebut hingga berbuah.Benar-benar seorang yang multitalenta.
        Lepas dari semua itu, Pak Tomo adalah seorang ayah yang baik dan penyayang terhadap ke-7 anaknya.Apabila orang yang mengetahui betul karakter Pak Tomo, mereka akan mengatakan “Pak Tomo itu keras diluar tapi, lembut didalam” secara serempak. Hanya saja bagi orang-orang yang belum begitu paham akan karakter Pak Tomo yang sebenarnya, mereka sering mengaggap Pak Tomo adalah orang yang bengis, tidak beretika baik, bahkan ada pula yang menganggapnya seorang diktator.Ya, begitulah manusia, terlahir dengan berjuta karakter masing-masing sebagai tanda kebesaran sang Empunya hidup.
       Dengan usia yang tak lagi muda beliau masih berjibaku melawan arah putar roda sang waktu. Dengan sisa semangat yang masih beliau miliki dan masih terus dipupuknya semenjak 61 tahun yang lalu, beliau masih dapat berdiri tegak mencari keteguhan hatinya akan sebuah kehidupan. Masih terus menantang terik sang mentari agar dapat terus berteman dengan alam. Seperti manusia pada umumnya, tubuh Pak Tomo tak lagi sekuat dulu saat usianya baru beranjak belasan tahun. Sekarang fitalitas Pak Tomo mengalami penurunan dan tak jarang beliau jatuh sakit.

Kendati seperti itu, beliau tak pernah sedikitpun mengeluh ataupun menggerutu. Beliau hanya terus menjalani apa yang menjadi kewajibannya sebagai seorang makhluk Tuhan, sebagai makhluk sosial, dan tentunya sebagai seorang ayah dan seorang kepala keluarga.

        Begitu asiknya Pak Tomo menyirami tanaman-tanaman di Pekarangan rumahnya, hingga tak sadar bahwa waktu telah beranjak. Mentari juga telah memunculkan semua wajahnya yang begitu menyilaukan. Hingga ahirnya hawa panas dan rasa gerah mulai menyergap tubuh keriput Pak Tomo. Tiba-tiba terdengar suara keras memanggil namanya. “Pak Tomo...! Pak Tomo...!” semakin lama semakin mendekat dan nampak seorang pria paruh baya mendekat kearahnya.

 “Pak Tomo, istirahat dulu. Ini kan sudah siang” pria tersebut mengajak Pak Tomo beristirahat. “Memang ada apa Niat ?” sahut Pak Tomo menghentikan aksinya memangkas daun-daun yang sudah sedikit mengering.

“Ayolah, ada hal penting yang ingin saya sampaikan kepada bapak” sambil menyentuh pundak Pak Tomo.

“Ya sudahlah. Tunggu sebentar aku mau cuci tangan, kamu masuk saja dulu” dengan sedikit menggosok tangannya yang masih berlumuran tanah kering akibat mengorek-orek tanah.

Dengan berbalik arah Niat menjawab “ya pak”.

Kemudian Pak Tomo mencuci kaki dan tangannya lantas masuk dan menemui Niat yang sudah duduk menunggu di ruang tamu.

“Ada apa At?” tanya beliau kepada Niat yang notabennya mantan muridnya di SD dulu.

“Begini Pak, berkas pengajuan sudah saya serahkan kepada pihak Polres. Sekarang kita tinggal menunggu panggilan dari pihak Polres Pak”. Jelas Niat kepada mantan gurunya tersebut.

“Bagus lah At, agar semua urusan cepat selesai” Pak Tomo sedikit lega.

“Sekarang kita tinggal menunggu kepastian, apakah hukum masih berdiri tegak di Indonesia tempat kita berdomisili sekarang ini” tambah Pak Tomo.

“Iya Pak, semoga saja. Kita tunggu info selanjutnya”. Niat juga berharap.
“Walah, gara-gara sibuk mengobrol sampai lupa kamu tidak dibuatkan minum” dengan sedikit menggelengkan kepala.
Kemudian dengan suara agak lantang Pak Tomo memanggil Istrinya yang berada didapur..
“Bu, Ibu...”
“Iya Pak? Ada apa?” sahut Ibu Ira sedikit samar karena jarak ruang tamu dan dapur lumayan jauh.
“Buatkan minum untuk Mas Niat Bu...” Pak Tomo memerintah.
Dengan suara yang agak samar kembali Bu Ira menjawab “Iya Pak sebentar”.

       Tak lama kemudian Bu Ira membawakan secangkir kopi diatas sebuah nampan merah bercorakkan bunga-bunga.Bersamaan kopi juga ada setoples sale pisang yang masih memenuhi wadahnya.

“Monggo mas minumnya. Mumpung masih hangat”. Sambil menurunkan secangkir kopi dan setoples sale pisang dari nampan.

“Oh iya bu, terima kasih. Jadi merepotkan”. Dengan sedikit tersipu.

Kedua ayah tersebut melanjutkan kembali perbincangannya tentang berkas pengaduan kepada pahak Polres.

Tak terasa hari sudah semakin siang dan adzan dhuhurpun berkumandang.

“Wah ndak terasa sudah dhuhur, kalau begitu saya pamit pulang dulu pak”. Berdiri dari tempat duduknya.

“Iya At, terima kasih atas bantuannya” sambil berjalan menuju pintu rumah.

Kemudian Niat mengucapkan salam “asalamu’alaikum”.

“Wa’alaikumsalam” jawab Pak Tomo.

     Hari demi hari telah berlalu seperti biasanya. Masih sama dari hari-hari sebelumnya. Rutinitas Pak Tomo tak begitu banyak perubahan berarti. Memang semenjak beliau pensiun dari profesinya sebagai seorang PNS, beliau menghabiskan banyak waktunya untuk mengurus kebun dan tanaman miliknya. Mungkin untuk saat ini beliau sedang merindukan seorang anak bungsunya yang telah lama belum pulang karena tidak ada hari libur.

Saat ini anak bungsunya sedang mengikuti study disebuah Universitas swasta yang jauh dari kota tempat ia tinggal.

         Hingga ahirnya pada suatu siang disaat Pak Tomo sedang duduk melamun diruang tamu, tepatnya dipojok sebuah bale yang terbuat dari kayu Jati dan bercorakan ukiran pada tempat bersandarnya. Beliau terkagetkan dari lamunannya karena tepukkan tangan Bu Ira tepat dipundak sebelah kiri. “Haaaargh...! ada apa bu? Mengagetkan saja”.

“Bapak itu yang kenapa, melamun saja dari tadi” ucap Bu Tomo.

“Bapak rindu dengan Arga bu. Sudah lama dia tak pulang” dengan sedikit bersedih Pak Tomo menjawab.

“Sudahlah pak, disana Arga juga sedang belajar agar dapat menjadi anak yang berguna bagi bangsa dan negara. Nanti malah Arga merasa tidak betah disana” Bu Ira mencoba menenangkan hati Pak Tomo yang sedang gundah. Mungkin Pak Tomo rindu pada anak bungsunya karena hampir 4 bulan Arga tak pulang kerumah.





bersambung...

by: Heri Harto Sembodo

2 komentar:

keren gan cerbungnya
sata tunggu seri keduanya,,,,,

Posting Komentar