Mentari
sepertinya masih bersembunyi dan tak mau menunjukkan eksistensinya dibalik
putaran bumi.Tetapi nampak meganya telah memancar dari sisi timur tempat
kehidupan manusia.Sebelumnya Pak Suwito Utomo sudah terbangun dari tidurnya
yang baru beberapa jam.Saat beliau membuka mata,masih saja terngiang tentang
karut marut problema yang sedang beliau hadapi.Tetapi kesunyian begitu
mendamaikan dan memecah sedikit kegundahan.Angin juga tak begitu besar berhembus
yang mengurangi udara dingin di desa Karamanca.Begitu komplek, warna dipagi itu.
Ketika
jarum jam menunjukkan pukul 05.00 Pak Tomo(begitu orang-orang memanggilnya)
sudah beranjak keluar rumah untuk menyirami tanaman-tanaman miliknya.Hampir
semua jenis tanaman ada di pekarangan rumahnya.Namun,tanaman Durianlah yang
paling beliau sukai.Ada berbagai jenis tanaman durian di pekarangannya.Misalnya
saja durian Kaniurin,Sitokong,Kokmaetu,durian lokal,dan yang terbaru adalah
jenis durian Montong yang baru saja beliau beli beberapa hari sebelumnya.Beliau
memang seorang pecinta tanaman sejati,meskipun seringkali tanaman buah yang
beliau beli tidak menghasilkan buah secara maksimal,beliau tetap mencoba.Paling
tidak semua anggota keluarganya dapat merasakan nikmatnya buah-buahan dari
tanaman yang beliau tanam.Tak jarang tetangga-tetangga juga mendapat bagian
meski sekedar mencicipi.
Terlihat
samar-samar dibalik gelapnya pagi Pak Tomo menjinjing tembor (sebutan orang
didesa Karamanca terhadap alat untuk mengisi air yang digunakan untuk menyirami
tanaman) yang penuh dengan air dan menyiramkannya keseluruh tanaman
miliknya.Terlihat begitu terbiasa beliau melakukan hal itu,hingga sepertinya
sudah hafal betul cara dan takaran dalam menyiram tumbuh-tumbuhan.Meski pada
dasarnya beliau adalah seorang pensiunan guru Sekolah Dasar, beliau terlihat
begitu terampilnya merawat tanaman-tanaman tersebut hingga berbuah.Benar-benar
seorang yang multitalenta.
Lepas
dari semua itu, Pak Tomo adalah seorang ayah yang baik dan penyayang terhadap
ke-7 anaknya.Apabila orang yang mengetahui betul karakter Pak Tomo, mereka akan
mengatakan “Pak Tomo itu keras diluar tapi, lembut didalam” secara serempak.
Hanya saja bagi orang-orang yang belum begitu paham akan karakter Pak Tomo yang
sebenarnya, mereka sering mengaggap Pak Tomo adalah orang yang bengis, tidak
beretika baik, bahkan ada pula yang menganggapnya seorang diktator.Ya,
begitulah manusia, terlahir dengan berjuta karakter masing-masing sebagai tanda
kebesaran sang Empunya hidup.
Dengan
usia yang tak lagi muda beliau masih berjibaku melawan arah putar roda sang
waktu. Dengan sisa semangat yang masih beliau miliki dan masih terus dipupuknya
semenjak 61 tahun yang lalu, beliau masih dapat berdiri tegak mencari keteguhan
hatinya akan sebuah kehidupan. Masih terus menantang terik sang mentari agar dapat
terus berteman dengan alam. Seperti manusia pada umumnya, tubuh Pak Tomo tak
lagi sekuat dulu saat usianya baru beranjak belasan tahun. Sekarang fitalitas
Pak Tomo mengalami penurunan dan tak jarang beliau jatuh sakit.
Kendati seperti itu, beliau tak pernah sedikitpun mengeluh ataupun menggerutu.
Beliau hanya terus menjalani apa yang menjadi kewajibannya sebagai seorang
makhluk Tuhan, sebagai makhluk sosial, dan tentunya sebagai seorang ayah dan
seorang kepala keluarga.
Begitu
asiknya Pak Tomo menyirami tanaman-tanaman di Pekarangan rumahnya, hingga tak
sadar bahwa waktu telah beranjak. Mentari juga telah memunculkan semua wajahnya
yang begitu menyilaukan. Hingga ahirnya hawa panas dan rasa gerah mulai
menyergap tubuh keriput Pak Tomo. Tiba-tiba terdengar suara keras memanggil
namanya. “Pak Tomo...! Pak Tomo...!” semakin lama semakin mendekat dan nampak
seorang pria paruh baya mendekat kearahnya.
“Pak Tomo, istirahat dulu. Ini kan sudah
siang” pria tersebut mengajak Pak Tomo beristirahat. “Memang ada apa Niat ?”
sahut Pak Tomo menghentikan aksinya memangkas daun-daun yang sudah sedikit
mengering.
“Ayolah, ada hal penting yang ingin saya sampaikan kepada bapak” sambil
menyentuh pundak Pak Tomo.
“Ya sudahlah. Tunggu sebentar aku mau cuci tangan, kamu masuk saja dulu” dengan
sedikit menggosok tangannya yang masih berlumuran tanah kering akibat
mengorek-orek tanah.
Dengan berbalik arah Niat menjawab “ya pak”.
Kemudian Pak Tomo mencuci kaki dan tangannya lantas masuk dan menemui Niat yang
sudah duduk menunggu di ruang tamu.
“Ada apa At?” tanya beliau kepada Niat yang notabennya mantan muridnya di SD
dulu.
“Begini Pak, berkas pengajuan sudah saya serahkan kepada pihak Polres. Sekarang
kita tinggal menunggu panggilan dari pihak Polres Pak”. Jelas Niat kepada mantan
gurunya tersebut.
“Bagus lah At, agar semua urusan cepat selesai” Pak Tomo sedikit lega.
“Sekarang kita tinggal menunggu kepastian, apakah hukum masih berdiri tegak di
Indonesia tempat kita berdomisili sekarang ini” tambah Pak Tomo.
“Iya Pak, semoga saja. Kita tunggu info selanjutnya”. Niat juga berharap.
“Walah, gara-gara sibuk mengobrol sampai lupa kamu tidak dibuatkan minum”
dengan sedikit menggelengkan kepala.
Kemudian dengan suara agak lantang Pak Tomo memanggil Istrinya yang berada
didapur..
“Bu, Ibu...”
“Iya Pak? Ada apa?” sahut Ibu Ira sedikit samar karena jarak ruang tamu dan
dapur lumayan jauh.
“Buatkan minum untuk Mas Niat Bu...” Pak Tomo memerintah.
Dengan suara yang agak samar kembali Bu Ira menjawab “Iya Pak sebentar”.
Tak
lama kemudian Bu Ira membawakan secangkir kopi diatas sebuah nampan merah
bercorakkan bunga-bunga.Bersamaan kopi juga ada setoples sale pisang yang masih
memenuhi wadahnya.
“Monggo mas minumnya. Mumpung masih hangat”. Sambil menurunkan secangkir kopi
dan setoples sale pisang dari nampan.
“Oh iya bu, terima kasih. Jadi merepotkan”. Dengan sedikit tersipu.
Kedua ayah tersebut melanjutkan kembali perbincangannya tentang berkas
pengaduan kepada pahak Polres.
Tak terasa hari sudah semakin siang dan adzan dhuhurpun berkumandang.
“Wah ndak terasa sudah dhuhur, kalau begitu saya pamit pulang dulu pak”.
Berdiri dari tempat duduknya.
“Iya At, terima kasih atas bantuannya” sambil berjalan menuju pintu rumah.
Kemudian Niat mengucapkan salam “asalamu’alaikum”.
“Wa’alaikumsalam” jawab Pak Tomo.
Hari
demi hari telah berlalu seperti biasanya. Masih sama dari hari-hari sebelumnya.
Rutinitas Pak Tomo tak begitu banyak perubahan berarti. Memang semenjak beliau
pensiun dari profesinya sebagai seorang PNS, beliau menghabiskan banyak
waktunya untuk mengurus kebun dan tanaman miliknya. Mungkin untuk saat ini
beliau sedang merindukan seorang anak bungsunya yang telah lama belum pulang
karena tidak ada hari libur.
Saat ini anak bungsunya sedang mengikuti study disebuah Universitas swasta yang
jauh dari kota tempat ia tinggal.
Hingga
ahirnya pada suatu siang disaat Pak Tomo sedang duduk melamun diruang tamu,
tepatnya dipojok sebuah bale yang terbuat dari kayu Jati dan bercorakan ukiran
pada tempat bersandarnya. Beliau terkagetkan dari lamunannya karena tepukkan
tangan Bu Ira tepat dipundak sebelah kiri. “Haaaargh...! ada apa bu?
Mengagetkan saja”.
“Bapak itu yang kenapa, melamun saja dari tadi” ucap Bu Tomo.
“Bapak rindu dengan Arga bu. Sudah lama dia tak pulang” dengan sedikit bersedih
Pak Tomo menjawab.
“Sudahlah pak, disana Arga juga sedang belajar agar dapat menjadi anak yang
berguna bagi bangsa dan negara. Nanti malah Arga merasa tidak betah disana” Bu
Ira mencoba menenangkan hati Pak Tomo yang sedang gundah. Mungkin Pak Tomo
rindu pada anak bungsunya karena hampir 4 bulan Arga tak pulang kerumah.
bersambung...
by: Heri Harto Sembodo
2 komentar:
keren gan cerbungnya
sata tunggu seri keduanya,,,,,
siap gan
Posting Komentar