Saya akan
menceritakan pengalaman penndakian kami yang pertama kepada anda para
pembaca yang membutuhkan info tentang pendakian. Ada sedikit pengalaman
yang akan saya bagi kepada sahabat semua tentang pendakian kami yang
pertama di Gunung Sindoro, Temanggung Jawa Tengah.
Tanpa berbelit-belit lagi, langsung saja kita simak pengalaman saya di bawah ini.
Pendakian pertama
yang saya laksanakan bersama teman-teman sangatlah berkesan. Karena ini
adalah pendakian pertama kami. Tepatnya tanggal 16 Agustus 2009. Kami
berangkat dari rumah kami masing-masing disebuah kabupaten kecil,
Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah pada pukul 14.30 menaiki bus jurusan
semarang yang bertuliskan "Maju Makmur" di dindingnya yang sudah lusuh
dan sedikit terkena korosi. Hampir 2 jam 30 menit kami berada di atas
bus tersebut. Hingga ahirnya kami turun di sebuah Gapura pangkal gang,
500 M dari tugu "selamat jalan" kabupaten Wonosobo. Kami langsung
bergegas menuju Basecame tempat pendaftaran.
Sesampainya kami
di Basecame Sindoro kami langsung bergegas mengisi data pendakian.
Selanjutnya kami mengisi botol-botol kosong air mineral dengan air keran
yang ada di Basecame tersebut. Anggota kami genap berjumlah 11 orang,
dan semuanya saling membagi tugas sebelum memulai pendakian. Selanjutnya
kami mempersiapkan peralatan lainnya yang kami butuhkan, seperti :
Obat-obatan, makanan ringan, Plester koyo, Madu, Senter dll. Peralatan
yang kami bawa sangatlah sederhana, maklum amatir.
Tepat pukul 18.00
kami melakukan pendakian kami yang pertama dari Basecame Kledung,
dengan harapan meraih puncak Sindoro. Sebelum melakukan pendakian kami
berdo'a terlebih dahulu agar diberi keselamatan dan kelancaran oleh
Tuhan Yang Maha Esa. Langkah-langkah pertama terasa ringan ditemani
udara sejuk khas pegunungan. Di samping kanan, kiri kami terhampar
perkebunan sayuran dan tembakau yang sangat luas. Medan pertama yang
kami lalui tak begitu sulit. Kami terus melangkah diatas jalanan
perkebunan yang terbuat dari susunan batu kerakal yang sangat rapi.
Tak terasa kami
sudah sampai di Pos 1 Pendakian. Kami istirahat sejenak di situ. Meski
baru sampai di Pos pertama, halangan sudah menyergap. Salah satu teman
kami ada yang mengeluh karena kecapekan, dan satunya lagi ada yang
terkena maag. Ini merupakan cobaan untuk kami. Ahirnya saya putuskan
untuk membawakan tas mereka berdua sekaligus. Memang berat. Tapi biar
bagaimanapun kami harus sampai di puncak gunung Sindoro.
Medan yang
sedikit terjal dan ditutubi rerumputan dan sedikit menyulitkan langkah
kami, terlebih penerangan yang kami bawa kurang memadai. Langkah demi
langkah semakin terasa berat. Tak jarang kami beristirahat di tengah
jalur pendakian. Rasa lelah mulai terasa dan semakin memaksa kami
menghentikan pendakian. Tapi kami baru melewati Pos 2 pendakian. Kami
terus melangkah ditengah dinginnya suhu lereng gunung yang semakin
membeku. Perasaan menjadi tercampur aduk dengan hal-hal yang sedang kami
hadapi.
Langkah demi
langkah yang berat mengantarkan kami sampai di Pos 3 pendakian. Kami
putuskan untuk mendirikan tenda ditempat tersebut. Selain 2 teman kami
yang mulai kelelahan dan didera penyakit maag, suhu di lereng gunung
juga sudah mulai bertambah dingin dengan hadirnya malam.
Tenda sudah
terpancang dan siap untuk kami huni sementara kami melakukan pendakian.
Kami lalui malam dengan penuh ria dengan nyanyian yang diiringi petikan
gitar. Ada keuntungan yang kami peroleh dari banyaknya peserta pendakian
pertama ini. Api yang penuh dengan bara terus menerus temani gelak
tawa. Hingga tak terasa sang fajar hampir memancar.
Sinar pertama
yang menembus udara pagi di lereng gunung Sindoro begitu indah. Tampak
bentangan garis lurus cakrawala menyirat dari ufuk timur kebarat.
Bayang-bayang semu gunung-gunung lain tak kalah menariknya. Dan yang
sangat menyita perhatian adalah sosok gunung Sumbing yang mulai terlihat
berdiri kokoh dihadapan kami. Hingga kami tak kuasa menahan keinginan
untuk mengabadikan momen tersebut dalam jepretan lensa kamera.
Benar-benar kebesaran Sang Pencipta yang tiada tara keindahannya.
Lambat laun sinar
mentari menghangatkan badan kami yang menggigil diserang suhu dingin.
Kami memutuskan melanjutkan pendakian selagi hari masih pagi. Namun 2
teman kami yang sudah terlanjur kelelahan tidak berniat untuk
melanjutkan pendakian. Saya terus memotifasi mereka hingga ahirnya
mereka bersedia untuk melanjutkan pendakian bersama teman-teman lainnya.
Medan yang kami
lalui saat ini begitu curam dan terjal. Kami sangat berhati-hati
melewatinya. Karena apabila kami salah langkah, nyawa kamilah
taruhannya. Tapi, disitulah letak kepuasan yang dapat kami peroleh dari
pendakian ini. Kami harus memacu adrenalin sampai batas maksimal.
Kelemahannya adalah jika tidak memiliki kesadaran dan pengendalian diri
yang baik, semua jadi mudah untuk terlupakan. Tak terkecuali sahabat
sendiri.
Kami terbagi
menjadi beberapa kelompok. Karena ego masing-masing yang sangat tinggi
untuk segera meraih puncak. Sementara itu saya berada dirombongan paling
belakang bersama kedua tean yang kondisinya sudah tak sebugar di
Basecame. Sebenarnya saya masih mampu melanjutkan pendakian dengan cepat
agar dapat meraih puncak lebih cepat pula. Tapi, saya merasa
bertanggung jawab terhadap kedua teman yang tak mampu melanjutkan
pendakian tersebut. Karena memang benar sayalah yang memotivasi mereka
agar terus mendaki sampai mencapai puncak.
Lelah, lunglai,
dan lesu sudah mendera kedua teman saya tersebut. itu terwujud dari cara
kami beristirahat. Tak jarang kami berhenti setelah 10 meter berjalan.
Saya tetap sabar menunggu mereka. Karena bagi saya puncak bukanlah
segalanya. Tapi bagaimana kita menabur arti disetiap langkah dalam
perjuangan menuju puncak tersebut. Salah satu teman yang mengalami sakit
maag sudah benar-benar tak mampu untuk melanjutkan pendakian. Hal itu
membuat kami berhenti cukup lama diatas bebatuan yang bercongkol curam
diatas tebing terjal.
Kami hanya bisa
menunggu teman kami turun dari puncak. Lebih menyedihkan lagi saat itu
kami kehabisan bekal, dan bekal utama berada diransel teman-teman yang
sudah ada di atas. Kami hanya bisa menunggu, menunggu, dan menunggu
penuh harap ada pendaki lain yang menyusul dari bawah. Karena saat itu
kami benar-benar membutuhkan sesuatu untuk dimakan ataupun diminum.
Lelah sudah kami
nenunggu hingga semangat yang pada awalnya membara. Kini harus surut
dengan keadaan yang seperti ini. Tanpa kami bertiga menduganya, dari
puncak terlihat 5 turis yang sepertinya berasal dari Eropa dan sisanya
dari Jepang. Sudah pasti mereka menyambangi tempat kami tertunduk penuh
harap. Saya putuskan memberanikan diri untuk meminta sedikit bekal yang
mereka bawa. Dan ternyata....
Sangat
mengejutkan. Dia memberi kami 3 buah apel merah yang ranum dan 2 buah
jeruk segar kepada kami. Mungkin itulah miniatur tentang hal indah yang
akan kita dapat apabila terus bersabar.
Tanpa berpikir
panjang lagi kami langsung melahap buah pemberian kelima turis tersebut.
Sudah lebih dari cukup untuk mengganjal perut kami yang sedang didera
kelaparan. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan menuruni lereng
gunung. Ternyata mereka adalah pendaki yang sama-sama membangun camp di
Pos 3. Benar-benar berjodoh kami ini. Yang jelas kami sangat tertolong
atas pemberian mereka. Kami masih terus menunggu sambil memandang
kebawah melihat kelina turis tadi menuruni lereng dan sudah terlihat
sangat kecil.
Ahirnya satu
persatu teman kami tiba ditempat kami beristirahat, atau pantasnya
tempat kami terhenti sejenak. Setelah semua teman berkumpul, kami
bersama-sama menuruni lereng gunung yang curam dan terjal. Tampak dari
wajah kedua temanku yang tidak dapat melanjutkan pendakian terhampar
senyuman bahagia tanda mereka lega.
Dengan cepat kami
menuruni lereng gunung berusaha secepat mungkin sampai di Basecame.
Kendati dengan sisa-sisa tenaga kami mampu menyelesaikan pendakian
pertama kami dengan perasaan yang riang meski banyak rintangan yang
dihadapi.
Itu tadi
pengalaman kami tentang pendakian pertama digunung Sindoro melalui
Basecame Kledung, Temanggung. Terimakasih saya ucapkan bagi anda yang
telah mampir dan membaca artikel yang saya tulis. Semoga bermanfaat dan
ada pesan yang dapat dipetik. Salamdamai.
by : Heri Harto Sembodo