Gambar : Ganasnya Serangan Israel |
Owetbara.com - Pandangan Zionis bahwa kembalinya orang Yahudi ke Palestina
merupakan sebuah “tujuan suci” dan bahwa perang yang dilancarkan untuk
mencapai tujuan ini adalah sebuah “perang suci.” Gagasan ini memainkan
peran penting dalam pendidikan orang-orang Israel. Menurut fakta yang
ada, pemimpin-pemimpin utama Israel ada kalanya memberikan pandangan
mereka bahwa anak-anak harus disuruh menjalani suatu pendidikan
“Zionis.” Misalnya, Menteri Pendidikan Israel Limor Livnat memberikan
pernyataannya tentang salah satu dari hari-hari terkeras selama
Intifadah al-Aqsa bahwa “mengingat keadaan ini, anak-anak bangsa diminta
untuk menerima pendidikan Zionis-Yahudi” dan bahwa “Sekolah-sekolah
adalah bagian dari keamanan internal negara Israel.” Perjanjian Lama
mempunyai satu tempat khusus dalam sistem pendidikan ini, yang
dirancang para Zionis untuk berpusat pada ayat-ayat tertentu. Kitab ini
mengajak dengan penuh kebanggaan untuk melakukan tindakan kejam yang
dilakukan (atau harus dilakukan) oleh Bani Israel, dibawah pimpinan
Yosua, atas pribumi Palestina.
Dalam karya klasiknya The Case of Israel: A Study of Political Zionism, Roger Garaudy menerangkan sikap tersebut seperti berikut:
Menurut
pihak berwenang Israel, anak-anak harus diajarkan ideologi Zionis dari
usia muda. Akibatnya, anak-anak dibesarkan dengan keyakinan bahwa
mereka memiliki ras unggul. Perlakuan brutal tentara Israel atas warga
Palestina adalah akibat langsung ajaran ini.
Kitab Yosua,
yang seringkali diejawantahkan hari ini oleh para rabbi tentara di
Israel untuk menganjurkan perang suci, dan juga dalam banyak
pengajaran-pengajaran sekolah, bersandar pada keharusan sakral adanya
pemusnahan atas penduduk yang ditaklukkan, menumpas dengan “mata pedang”
segala sesuatu “baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun
muda,” (Yosua, 6:21), seperti kita baca dalam cerita Jericho dan begitu
banyak kota-kota lainnya.
Perilaku yang ditunjukkan
tentara-tentara Israel yang dibina dengan gagasan seperti ini sejalan
dengan sikap ini. Saat ini dalam pendudukan Palestina, kejadian-kejadian
mengerikan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari: Bayi
berusia 18 bulan yang meninggal di tempat tidurnya ketika rumah-rumah
mereka diserang oleh tembakan helikopter Israel, gadis remaja yang
bekerja di kebun zaitun tertembak dan terbunuh tanpa alasan apa pun, dan
anak-anak yang kembali ke rumahnya dari sekolah dengan luka dan lumpuh
seumur hidupnya. Sistem pendidikan Zionis adalah akar dari masa tak
berprikemanusiaan dan menghalalkan semua cara ini. Penelitian
menunjukkan bahwa pendidikan dan cuci otak ini sangat berhasil guna.
Dalam sebuah pengujian yang dilakukan oleh ahli psikologi Tel Aviv
University G. Tamarin, sebuah pernyataan yang menggambarkan pembantaian
Jericho dari Kitab Yosua dari Perjanjian Lama dibagi-bagikan kepada
murid-murid kelas empat dan delapan. Mereka ditanya: “Anggaplah Tentara
Israel menduduki sebuah desa Arab dalam sebuah pertempuran. Apakah
kalian berpikir perlu, atau tidak, untuk bertindak melawan para penduduk
seperti yang dilakukan Yosua kepada penduduk Jericho?” Jumlah yang
menjawab “Ya” beragam dari 66% hingga 95% menurut sekolah yang didatangi
atau kibbutz atau kota tempat anak-anak tinggal.
Garaudy menekankan bahwa Kitab Yosua dan Perjanjian Lama secara umum adalah sumber teror Zionis:
Pandangan
tentang “janji”, bersama-sama dengan makna perwujudannya (sebagai
pemimpin Zionisme politik yang berasal dari Kitab di mana Yosua
menceritakan takdirnya untuk memusnahkan penduduk sebelumnya, yang ia
lakukan berdasar perintah Tuhan dan dengan pertolongannya) ditambah ungkapan
“orang-orang terpilih” dan “Israel yang lebih agung” dari Nil hingga
Eufrat, membentuk dasar-dasar ideologi Zionisme politik.
Penembak jitu Israel menembak warga sipil Palestina tak bersenjata, termasuk wanita dan anak-anak.
Buku
harian seorang tentara Israel yang diterbitkan oleh surat kabar Israel
Davar adalah contoh penting untuk hal ini. Tentara yang kita bicarakan
ini ikut serta dalam sebuah operasi untuk mengepung desa Palestina
Ed-Dawayma pada tahun 1948, dan menggambarkan kejadian kejam yang ia
saksikan:
Mereka membunuh antara delapan puluh hingga seratus
lelaki, wanita, dan anak-anak Arab. Untuk membunuh anak-anak, mereka
(para tentara) mematahkan kepala mereka dengan tongkat. Tidak ada satu
rumah pun tanpa mayat. Para wanita dan anak-anak di desa tersebut
dipaksa tinggal di dalam rumah tanpa makanan dan air. Kemudian, para
tentara datang untuk meledakkan mereka dengan dinamit.
Seorang
komandan memerintahkan seorang tentara untuk membawa dua wanita ke
sebuah bangunan tempat ia menembaki mereka… Tentara lainnya bangga
karena telah memerkosa seorang wanita Arab sebelum menembak mati
dirinya. Wanita Arab lainnya yang mempunyai bayi disuruh membersihkan
tempat itu selama beberapa hari, kemudian mereka menembaknya berikut
bayinya. Para komandan yang terdidik dan sopan yang dianggap sebagai
“orang baik” …. menjadi pembunuh tak berprikemanusiaan, dan ini tidak
terjadi dalam sebuah pertempuran, melainkan hanya sebuah cara
pengusiran dan pemusnahan. Semakin sedikit orang Arab yang tertinggal,
semakin baik.
Ini hanyalah salah satu dari banyak peristiwa kejam lainnya yang telah terjadi selama 50 tahun terakhir.
Sebelum
pemerintahan Israel didirikan, kelompok Haganah, Irgun, dan Stem
bertanggung jawab atas pengusiran orang-orang Palestina dari tanah
mereka. Organisasi teroris sebelum 1948 dan tentara Israel setelah 1948
ini melakukan suatu kampanye teroris atas penduduk sipil Arab.
Menachem Begin, pemimpin Irgun, kelak menjadi perdana menteri,
menerangkan strategi mereka: “Orang-orang Arab berjuang dengan gigih
dalam mempertahankan rumahnya, para wanita dan anak-anak mereka.” Dengan
kata lain, perang Zionis akan dilakukan melawan orang-orang tak
berdosa.
Dan memang, semenjak tanggal tersebut orang-orang
Palestina telah berjuang melindungi rumah mereka, para wanita, dan
anak-anak dari kebijakan resmi Israel menteror seluruh orang-orang
Palestina. Wartawan surat kabar dan ahli Timur Tengah Flora Lewis
menerangkan kekejaman gaya Israel ini dalam artikelnya di International Herald Tribune:
Pihak
berwenang Israel sekarang telah mengakui di depan publik sebuah
kebijakan “serangan terarah” atas orang-orang Palestina yang dipercaya
akan terlibat dalam terorisme. Ini merupakan pembunuhan politis
terencana, yang sangat tepat disebut “tindak kriminal… pembunuhan” oleh
Moshe Neghi, seorang jurnalis Israel terkemuka… Wakil Menteri
Pertahanan Ephraim Sneh menyebutkan di radio bahwa kebijakan ini tegas.
“Jika ada orang yang melakukan atau berencana melakukan serangan
teroris, dia harus dipukul… Inilah yang efektif, tepat, dan adil.”
HUKUMAN MATI DI JALANAN…
Bagi
tentara Israel, seluruh rakyat Palestina adalah sasaran. Mereka tidak
peduli apakah orang-orang yang mereka temui itu anak-anak, perempuan,
atau orang berusia lanjut.
Orang-orang Palestina
kadangkala menghadapi peluru Israel di tempat-tempat pemeriksaan, di
pasar, atau hanya sewaktu berdiri di pojok jalan atau tidur di atas
ranjang.
DAN PENJAGAL
Harian Turki TÜRKIYE,
7 Agustus 2001
MENEMBAK MATI SECARA
TERANG-TERANGAN
Harian Turki GÖZCÜ, 19 Mei 2001
ISRAEL MENGEBOM KOTA GAZA
Harian Turki MILLI GAZETE,
18 Mei 2001
PALESTINA MEMBARA
Menyerang dengan helikopter,
tank, dan bulldozer, Israel
merambah tanah Palestina.
Harian Turki TÜRKIYE,
13 Oktober 2001
Israel Menjatuhkan Hujan Rudal
PALESTINA DIBASAHI DARAH
THE MUSLIM OBSERVER,
Februari 2002
THE INDEPENDENT,
Desember 2002
W. REPORT, April – Mei.1993
CRESCENT INT.,
16-31 Agustus 2001
Hampir
tidak ada hari tanpa darah tertumpah dari orang yang tak bersalah di
Palestina. Tentara Israel secara terencana menghancurkan orang-orang
Palestina. Desa-desa dibom, rumah-rumah dimusnahkan, dan ladang-ladang
dibakar. Sementara kekejaman ini muncul di media internasional dari
waktu ke waktu, yang menyedihkan, pemimpin dunia masih belum cukup
bertindak. Sebuah artikel dalam Crescent International dengan jelas
menampilkan keadaan ini ketika menyatakan: “Palestinian deaths mount as
Israelis given freedom to commit atrocities (Kematian warga Palestina
memuncak ketika Israel memberi kebebasan melakukan pembantaian).” The
Washington Report on Middle East Affairs, dalam artikelnya “In Gaza,
Israeli Rockets Replace Human Rights (Di Gaza, Roket-roket Israel
Menggantikan Hak Azazi Manusia)” memberi peringatan bahwa kekerasan di
Palestina hanya akan makin memburuk. Berita lain di media Turki juga
mencerminkan parahnya keadaan.
Harus ditekankan bahwa, seperti
disebutkan Sneh, upaya Israel ini tidak terbatas pada unsur-unsur
teroris, melainkan juga mentargetkan seluruh orang.
Perincian
yang diberikan di sini hanyalah sebagian kecil dari kekejaman yang
dilakukan oleh pemerintah Israel. Namun ini adalah sebuah tindakan yang
dikenal baik oleh orang-orang Muslim Palestina, karena ada kemiripan
yang erat antara penggambaran Al-Qur’an tentang Firaun dengan apa yang
telah dilakukan pemimpin Israel Zionis kepada orang-orang Palestina tak
berdosa. Dalam masanya, Firaun menetapkan sasaran orang-orang Yahudi
yang lemah, tak punya pelindung dan dengan kejam membunuh mereka. Juga,
pemimpin kaum Firaun mempunyai keterikatan yang kuat akan tanah
mereka, sehingga Firaun berkata bahwa Musa “ingin mengusir kamu dari
tanahmu” (Al-Qur’an, 7: 110) Wartawan Israel Uri Avnery menyoroti
kemiripan ini. Dalam artikel “Pembunuhan Arafat,” ia mengingatkan kita
bahwa salah satu keyakinan dasar Yudaisme adalah bahwa masa perbudakan
Yahudi di Mesir tidak akan pernah terlupakan. Menurutnya, apa yang
dilakukan orang-orang Israel atas Palestina saat ini hanyalah suatu
bentuk kekejaman yang ditimpakan kepada leluhur Yahudi mereka oleh
Firaun:
Dalam mitos baru yang terlahir di depan mata kita,
Sharon adalah Firaun dan kita adalah orang-orang Mesir kuno. Dalam
cerita tentang Keluaran, Alkitab menyebut firman Tuhan: “Aku telah
mengeraskan hati (Firaun) dan hati budak-budaknya.” Setelah musibah
yang menimpanya, Firaun melanggar janjinya untuk membebaskan
orang-orang Israel… Dia (Tuhan) ingin bangsa Israel dikeraskan oleh
kekerasan, sebelum mereka memulai perjalanan panjangnya. Inilah yang
terjadi kepada bangsa Palestina sekarang.34
Ayat berikut ini menggambarkan bagaimana Firaun membunuh orang-orang yang tak berdaya:
Dan
(ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Ingatlah nikmat Allah
atasmu ketika Dia menyelamatkan kamu dari (Fir’aun dan)
pengikut-pengikutnya, mereka menyiksa kamu dengan siksa yang pedih,
mereka menyembelih anak-anak laki-lakimu, membiarkan hidup anak-anak
perempuanmu; dan pada yang demikian itu ada cobaan yang besar dari
Tuhanmu”. Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih”.(Qur’an, 14:6-7)
Dengan bantuan Allah, Bani
Israil akhirnya keluar dari kekejaman dan tidak berprikemanusiaannya
Firaun. Pada masa sekarang, radikalisme Israel ada pada kedudukan
Firaun dan menganjurkan kekejaman. Orang-orang Palestina harus
mengikuti himbauan Allah kepada Bani Israel pada saat itu: Sabarlah,
percayalah kepada Allah, dan tetaplah di atas jalan-Nya yang benar.
SEORANG TENTARA ISRAEL MELUKISKAN KEKEJAMAN
Serangan
Libanon pertama saya adalah pada tahun 1986. Saya wajib militer Israel
berusia 19 tahun, dan peleton penerjun payung saya dikirim ke suatu
desa yang saya lupa namanya…. Kami mendobrak pintu sebuah rumah,
memeriksa keluarga di dalamnya, dan mengeluarkan seorang pria berusia
separuh baya. Setelah menutup matanya dan mengikat tangannya di
belakang punggungnya, kami membawanya ke sebuah jalanan sepi,
memaksanya berlutut, dan menaruh senjata di kepalanya, mengancam
menembak jika ia tidak bicara. Seorang petugas perdamaian PBB muncul dan
mengakhiri insiden itu, tapi masih akan ada lagi yang terjadi.
Hari
berikutnya kami melakukan hukuman mati yang tidak masuk akal atas
seorang anak Libanon berusia 10 tahun. Kami memaksa keluarganya masuk
dapur dan menyeretnya ke samping kebun. Letnan saya memasukkan
kepalanya ke dalam kotoran dan saya memukulkan senapan saya ke
kepalanya.
Meskipun tentara itu mengancam menembak kepalanya, bocah itu tidak menjawab, tetap membisu…
Saya
adalah prajurit pindahan dari satuan lain, dan rekan saya lebih
terbiasa dengan aksi seperti ini… Orang desa yang sudah tua, wanita,
dan anak kecil dijebak di rumah mereka, diperintah menjalani jam malam
24 jam. Para lelaki mereka dikumpulkan di suatu ruangan terpusat, mata
ditutup, dan diseret untuk disidik.
Kebrutalan tak bertanggung
jawab ini tak terbatas pada prajurit berpendapatan rendah. Omri, anak
seorang pejabat terpandang, suka menembak dengan memberondong
orang-orang desa yang mengintip melalui pintu-pintu… Selama serangan
bulan-bulan pertama, Israel membunuh 12.000 hingga 15.000 orang dan
kehilangan 360. Meskipun korban di pihak Israel itu adalah para
prajurit, sebagian besar korban mereka justru orang-orang sipil.
James
Ron, penulis artikel ini, asisten profesor sosiologi pada John Hopkins
University, adalah seorang penyidik lapangan sebuah kelompok hak asasi
manusia. (Boston Globe, 25 Mei 2000)
Pembantaian oleh Israel
Beberapa
pembantaian yang dilakukan oleh tentara Israel dan organisasi teroris
(seperti Haganah, Irgun, dan Stern) antara 1948 dan 1982 akan
digambarkan dalam halaman-halaman berikut ini. Tidak ada satu pun
pembantaian itu yang ditujukan kepada kelompok-kelompok bersenjata.
Sejarah Israel penuh dengan tindak kekerasan atas dan pembantaian
orang-orang sipil. Beberapa contoh berikut ini saja sudah cukup:
peledakan Hotel King David pada tahun 1946; pembantaian Deir Yassin
pada 1948, di mana penduduk desa yang tak berdosa disiksa dan dibunuh;
pembantaian tak berprikemanusiaan di desa Qibya pada 1958; pembantaian
di kamp pengungsian Sabra dan Shatilla, yang dilakukan oleh milisi
Libanon Kristen pro-Israel di bawah dukungan Ariel Sharon dan
mengakibatkan hampir 3000 kematian; serangan atas Mesjid Aqsa pada 1990,
yang menyebabkan 11 kematian dan hampir 800 orang luka-luka,
pembantaian di Mesjid Ibrahim pada tahun 1994 selama sholat Subuh;
pembantaian di kamp pengungsian Qana pada 1996; dan pengepungan
terowongan oleh 4000 tentara pada 1999 adalah beberapa contoh saja dari
kekerasan ini.
Mereka yang tewas dalam serangan ini adalah
orang-orang tak berdosa yang tidak punya alat-alat untuk melindungi
diri mereka sendiri. Pembantaian yang akan disebutkan di
halaman-halaman berikut hanyalah contoh dari kekejaman dan teror yang
telah berlanjut dari tahun 1947 hingga sekarang. Meski angka-angka ini
penting artinya untuk menunjukkan besarnya penindasan Zionis, namun
angka-angka tersebut bahkan tak bisa memulai penggambaran akibatnya
yang mengerikan, khususnya karena penindasan itu masih berlangsung.
Memang, hampir setiap hari semenjak 1947 selalu saja ada laporan berita
tentang serangan, kematian, penyiksaan, dan kekerasan dari
daerah-daerah yang diduduki oleh Israel. Sebagai contoh, ketika semua
orang yang meninggal semenjak Oktober 2000 disebutkan, jumlahnya
mencapai hampir 2000. (Angka ini tidak termasuk orang-orang yang
terbunuh dalam Operasi Defensive Shield.) Dengan kata lain, orang-orang
Israel melanjutkan pembunuhan harian ini dalam suatu cara sistematis.
Beberapa Contoh Setengah Abad Pemerintahan Teror Israel
Pembantaian King David, 1946: 92 tewas
Serangan
ini dilakukan oleh organisasi teroris Irgun dan sepengetahuan David
Ben Gurion, pejabat teras Zionis dalam masa itu. Sejumlah total 92
orang, terdiri atas orang Inggris, Palestina, dan Yahudi terbunuh dan
45 orang terluka parah.
Sembilan puluh dua
orang, termasuk beberapa orang Inggris, terbunuh dalam sebuah serangan
yang dilancarkan teroris Zionis atas Hotel King David pada tahun 1946.
Pembantaian Baldat Al-Shaikh, 1947: 60 tewas
Enam
puluh orang Palestina yang tengah terlelap di tempat tidurnya, di
antara mereka para wanita, anak-anak, dan orang tua, kehilangan
nyawanya karena serangan ini, yang dilakukan oleh 150-200 teroris
Zionis. Serangan dimulai pada pukul 2 pagi dan berlangsung selama 4
jam.
Pembantaian Yehida, 1947: 13 tewas
Di Yehida, salah
satu pemukiman pertama Zionis, para penyerang yang berpakaian seperti
tentara Inggris menembaki orang-orang Islam.
Pembantaian Khisas, 1947: 10 tewas
Dua
mobil yang dipenuhi anggota-anggota Haganah memasuki desa Khisas di
perbatasan Libanon dan melakukan penembakan pada seseorang yang
melintasi jalan mereka.
Pembantaian Qazaza, 1947: 5 anak-anak tewas
Lima anak kehilangan jiwanya dalam peristiwa ini, ketika teroris Zionis menembaki sebuah rumah dengan membabi buta.
Pembantaian Hotel Semirami, 1948: 19 tewas
Dalam
sebuah operasi yang ditujukan untuk membuat orang-orang Palestina
merasa tidak aman dan memaksa mereka keluar dari Yerusalem, sekelompok
teroris Zionis yang dipimpin oleh presiden Israel pertama, David Ben
Gurion, meledakkan Hotel Semirami. Sembilan belas orang terbunuh.
Pembantaian Naser al-Din, 1948
Sekelompok
teroris Zionis berpakaian tentara Arab menembaki penduduk kota yang
meninggalkan rumahnya untuk menyambut mereka. Hanya 40 orang yang lolos
dari pembunuhan ini, dan desa tersebut terhapus dari peta.
Pembantaian Tantura, 1948: 200 tewas
Tantura,
sekarang rumah dari sekitar 1500 pemukim Yahudi, adalah sebuah tempat
pembantaian besar-besaran atas orang-orang Islam pada tahun 1948.
Sejarawan Israel Teddy Katz menggambarkan serangan ini sebagai berikut:
“Dari jumlahnya, ini benar-benar salah satu pembantaian yang
terbesar.”
Pembantaian Mesjid Dahmash, 1948: 100 tewas
Batalalion
Komando Israel ke-89 yang dipimpin oleh Moshe Dayan, yang nantinya
menjadi Menteri Pertahanan, mengumumkan kepada penduduk desa bahwa
mereka akan aman hanya jika mereka berkumpul di mesjid. Akan tetapi,
100 orang Islam yang mencari tempat perlindungan tersebut justru
dibantai di sana. Para penduduk yang ketakutan di Lydda dan Ramla
meninggalkan tanahnya. Sekitar 60.000 orang Palestina keluar dari
negerinya, dan 350 orang lebih tewas dalam perjalanan karena keadaan
kesehatan yang parah.
Pembantaian Dawayma, 1948: 100 tewas
Serangan
ini merupakan pembantaian terbesar yang dilakukan Israel. Sebagian
besar yang terbunuh tengah berada di mesjid untuk melakukan sholat
Jum’at. Wanita-wanita Palestina diperkosa selama serangan ini,
sementara rumah-rumahnya diledakkan dengan dinamit, padahal ada orang
di dalamnya.
Pembantaian Houla, 1948: 85 tewas
Tentara
Israel memaksa 85 orang untuk masuk ke dalam sebuah rumah, kemudian
rumah itu dibakar. Setelah itu, sebagian besar warga yang merasa takut
melarikan diri ke Beirut. Dari 12.000 penduduk asli Houla, hanya 1200
orang yang tersisa.
Pembantaian Salha, 1948: 105 tewas
Setelah
penduduk suatu desa dipaksa masuk ke mesjid, orang-orang tersebut
dibakar hingga tak seorang pun yang tersisa hidup-hidup.
ORANG-ORANG PALESTINA TENGAH DIHABISI
Kekejaman
yang dialami oleh rakyat Palestina telah berlanjut selama lebih dari
50 tahun. Di Palestina hari ini, hampir mustahil menemukan sebuah
keluarga yang tidak kehilangan puteranya karena peluru Israel. Lainnya
ada pula yang lumpuh atau cacat, seperti terlihat di foto-foto ini.
Pembantaian Deir Yassin, 1948: 254 tewas
Kenyataan
bahwa agenda dunia dikendalikan oleh media Barat, yang sebagian
besarnya memihak Israel, kadangkala mencegah peristiwa-peristiwa di
Israel untuk diungkap. Namun, beberapa kejadian seperti kekerasan dan
kekejaman telah didokumentasikan secara terperinci oleh lembaga-lembaga
internasional. Inilah salah satu dari kejadian-kejadian itu, yang
dilakukan oleh organisasi teroris Irgun dan Stem.
Pada malam 9
April, 1948, penduduk Deir Yassin terbangun karena perintah
“mengosongkan desa” yang disuarakan oleh pengeras suara. Sebelum mereka
mengerti apa yang tengah terjadi, mereka telah dibantai. Penyelidikan
Palang Merah dan PBB yang dilakukan berturut-turut di tempat kejadian
menunjukkan bahwa rumah-rumahnya pertama-tama dibakar lalu semua orang
yang mencoba melarikan diri dari api ditembak mati. Selama serangan
ini, wanita-wanita hamil dicabik perutnya dengan bayonet, hidup-hidup.
Anggota tubuh korban dipotong-potong, lalu anak-anak dihantam dan
diperkosa. Selama pembantaian Deir Yassin, 52 orang anak-anak
disayat-sayat tubuhnya di depan mata ibunya, lalu mereka dibunuh sedang
kepalanya dipenggal. Lebih dari 60 orang wanita terbunuh lalu
tubuh-tubuh mereka dipotong-potong. Salah satu wanita yang melarikan
diri hidup-hidup menceritakan pembantaian massal yang ia saksikan
sebagai berikut:
Saya melihat seorang tentara memegangi
saudara perempuan saya, Saliha al-Halabi, yang sedang hamil sembilan
bulan. Ia menyorongkan sebuah senjata mesin pada lehernya, lalu
memberondongkan seluruh pelurunya kepada saudara saya. Lalu ia beralih
menjadi seorang jagal, ia mengambil sebuah pisau lalu menyayat perutnya
hingga terburai lalu mengeluarkan janinnya yang telah mati dengan
pisau Nazinya yang tak berprikemanusiaan.
Tidak puas hanya
dengan pembantian, para teroris lalu mengumpulkan seluruh perempuan
dewasa dan remaja yang masih hidup, menanggalkan seluruh pakaian
mereka, membaringkan mereka di mobil terbuka, membawa mereka sepanjang
jalan daerah Yahudi di Yerusalem dalam keadaan telanjang. Jacques
Reynier, perwakilan Palang Merah Palestina pada saat itu, yang melihat
potongan-potongan mayat selama kunjungannya ke Deir Yassin pada hari
serangan itu, hanya bisa berkata: “Keadaannya sudah mengerikan.”
Selama
diadakannya serangan, 280 orang Islam, di antara mereka wanita dan
anak-anak, mula-mula diarak di sepanjang jalan lalu ditembak seperti
menjalani hukuman mati. Sebagian besar wanita yang masih remaja
diperkosa sebelum ditembak mati, sedangkan remaja pria dikebiri
kemaluannya.
Orang-orang yang tiba di tempat
pembantaian Deir Yassin hari berikutnya menemukan pemandangan yang
menggetarkan: tubuh-tubuh tak berkepala, anak-anak yang dipotong-potong
badannya, dan perut wanita yang terburai.
Harus dijelaskan bahwa
para teroris yang melakukan pembantaian massal ini bukanlah anggota
organisasi radikal yang bertindak di luar hukum atau menentang kendali
pemerintah; justru mereka itu dikendalikan langsung oleh pemerintah
Israel. Pembantaian Deir Yassin dilakukan oleh kelompok Irgun dan
Stern, di bawah kepemimpinan langsung Menachem Begin, yang di kemudian
hari menjadi perdana menteri Israel.
Begin menggambarkan operasi
tak berprikemanusiaan ini, yang hanyalah salah satu contoh dari
kebijakan resmi kebrutalan Israel, dalam kata-kata: “pembantaian ini
tidak hanya bisa dibenarkan, justru, tidak akan ada negara Israel tanpa
‘kemenangan’ di Deir Yassin.” Para Zionis menjadikan serangan seperti
itu untuk menteror orang-orang Palestina dan mengusir mereka dari tanah
mereka sehingga imigran Yahudi punya tempat untuk hidup. Israel Eldad,
seorang pemimpin Zionis yang terkenal, menyatakan hal ini secara
terbuka ketika ia berkata: “Jika tidak ada Deir Yassin, setengah juta
orang Arab akan tetap tinggal di negara Israel (pada tahun 1948).
Negara Israel tidak akan pernah ada.”
Para Zionis menganggap
pembersihan etnis seperti ini sebagai hal teramat penting untuk
mendirikan negara Israel. Memang operasi-operasi ini, yang dilanjutkan
setelah serangan Deir Yassin, menyebabkan banyak orang-orang Palestina
meninggalkan tanahnya dan melarikan diri, atau menderita nasib yang
sama seperti penduduk Deir Yassin.
Pembantaian di Qibya, 1953: 96 tewas
Serangan
Zionis lainnya yang dirancang untuk “mendorong” orang-orang Palestina
melarikan diri terjadi di Qibya, suatu desa dengan penduduk 2000 orang
di perbatasan Yordania. Penyelidikan lebih lanjut di tempat kejadian
yang dilakukan oleh beberapa pengamat dengan jelas mengungkap bagaimana
pembantaian terjadi. Pembantaian Qibya, yang terjadi pada 13 Oktober
1953, meliputi penghancuran 40 rumah dan pembunuhan 96 orang sipil,
sebagian besar di antara mereka wanita dan anak-anak. Unit “101” ini
dipimpin oleh Ariel Sharon, yang nantinya juga menjadi salah satu
perdana menteri Israel. Sekitar 600 tentaranya mengepung desa itu dan
memutuskan hubungannya dengan seluruh desa Arab lainnya. Begitu
memasukinya pada pukul 4 pagi, para teroris Zionis mulai secara
terencana memusnahkan rumah-rumah dan membunuh penduduk-penduduknya.
Sharon yang kalem, yang langsung memimpin serangan tersebut,
mengumumkan pernyataan berikut setelah pembantaian: “Perintah telah
dilaksanakan dengan sempurna: Qibya akan menjadi contoh untuk semua
orang.”
Dr. Yousif Haikal, duta besar Yordania untuk PBB pada
saat itu, menerangkan pembantaian ini dalam laporannya kepada Dewan
Keamanan:
Orang-orang Israel memasuki desa dan secara terencana membunuh seluruh penghuni rumah, dengan
menggunakan senjata-senjata otomatis, granat, dan bom bakar; lalu
mendinamit rumah yang ada penghuninya… Empat puluh rumah, sekolah desa,
dan sebuah waduk dihancurkan. Dua puluh dua ternak dibunuh dan enam
toko dijarah.
Jurnal Katolik terkenal The Sign,
yang diterbitkan di Amerika Serikat, juga melaporkan pembantaian massal
yang dilakukan selama serangan ini. Editor Ralph Gorman menerangkan
pemikirannya sebagai berikut: “Teror menjadi sebuah senjata politik
Nazi. NamunNazi tidak pernah menggunakan teror dengan cara yang lebih
berdarah dingin dan tanpa alasan seperti yang dilakukan Israel dalam
pembantaian di Qibya.”
Orang-orang yang kemudian datang ke tempat
pembantaian ini menyaksikan pemandangan yang mengerikan. Sebagian besar
mayat mengalami luka tembak di belakang kepala, dan banyak yang tanpa
kepala. Bersama orang-orang yang tewas di bawah reruntuhan rumah
mereka, banyak wanita-wanita dan anak-anak tak berdosa yang juga
dibunuh secara brutal.
Pembantaian Kafr Qasem, 1956: 49 tewas
In the Kafr Qasem attack, Israeli soldiers once again murdered innocent babies.
Serangan
di Kafr Qasem, ketika 49 orang tak bersalah, tanpa memandang wanita
atau anak-anak, tua atau muda, dibunuh dengan brutal, terjadi pada 29
Oktober 1956. Pada hari itu juga, Israel melancarkan serangannya atas
Mesir. Tentara garda depan Israel melakukan pembersihan sekitar pukul 4
sore, dan menyatakan bahwa mereka telah mengamankan perbatasan. Mereka
berkata pada pejabat setempat di kota-kota perbatasan bahwa jam malam
untuk kota tersebut mulai hari itu akan dimulai pukul 5 sore, bukan 6
sore seperti biasanya. Salah satu kota tersebut adalah Kafr Qasem, di
dekat pemukiman Yahudi di Betah Tekfa.
Para penduduk kota baru
diberitahu tentang jam malam tersebut pada pukul 4.45 sore. Pejabat
setempat memberi tahu tentara Israel bahwa sebagian besar penduduk kota
bekerja di luar kota, dan begitu mereka kembali dari kerjanya, mereka
tidak mungkin mengetahui tentang perubahan tersebut. Pada saat yang
sama, tentara Israel mulai mendirikan barikade di jalan masuk kota.
Sementara itu, orang-orang yang bekerja di luar kota pun mulai kembali
ke rumahnya. Kelompok pertama segera mencapai perbatasan kota. Apa yang
terjadi berikutnya diceritakan oleh saksi mata Abdullah Samir Bedir:
Kami
mencapai pintu masuk desa sekitar pukul 4.55 sore. Kami tiba-tiba
dihadang oleh unit garda depan yang terdiri atas 12 tentara dan seorang
pejabat, yang semuanya diangkut sebuah truk tentara. Kami memberi
salam kepada pejabat dalam bahasa Ibrani, dengan berkata “Shalom
Katsin”yang berarti “salam untuk Bapak,” tapi tak ada tanggapan. Dia
kemudian menanyai kami dalam Bahasa Arab: “Apakah kalian bahagia?” lalu
kami menjawab “Ya.” Para tentara mulai keluar dari truk dan sang
pejabat memerintahkan kami untuk berbaris. Lalu ia menyerukan perintah
ini kepada tentaranya: “Laktasour Otem,” yang berarti “Bereskan
mereka!” Para tentara mulai menembak…
Bedir, yang melarikan diri
dari percobaan pembantaian yang mengerikan ini dengan berjudi antara
hidup dan mati, sebenarnya bukanlah satu-satunya saksi mata kekejaman
ini. Mulai saat itu, tentara Israel menghentikan setiap kendaraan yang
mencoba memasuki kota itu dan menembak mati orang-orang di dalamnya. Di
antara mereka ada anak laki-laki berusia 15 dan 16 tahun, remaja
putri, dan wanita hamil. Orang-orang yang mendengarkan keributan dan
keluar melihat apa yang terjadi ditembak karena melanggar jam malam
begitu mereka melangkah ke luar. Tentara Israel diperintahkan bukan
untuk menahan, melainkan menembak mati semua yang melanggar jam malam.
Kejadian
ini, yang dilaporkan seluruhnya dalam catatan resmi Parlemen Israel,
adalah salah satu contoh yang paling mengejutkan dari kebijakan resmi
Israel.
Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan
di
muka bumi, mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang
mengadakan perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang
yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.
(Qur’an, 2:11-12)
Pembantaian Khan Yunis, 1956: 275 tewas
Tentara
Israel yang menyerang kamp pengungsi di Khan Yunis membunuh 275 orang.
Pejabat PBB yang melakukan penyelidikan di tempat kejadian menemukan
korban-korban yang telah ditembak di belakang kepalanya setelah
tangannya diikat.
Pembantaian di Kota Gaza, 1956: 60 tewas
Dalam serangan ini, para Zionis membunuh 60 orang, termasuk wanita dan anak-anak.
Pembantaian Fakhani, 1981: 150 tewas
Akibat serangan udara Israel atas daerah Libanon, 150 orang tewas dan 600 luka-luka.
Kamp
pengungsian Khan Yunis telah menjadi sasaran bom Israel semenjak hari
pendiriannya. Hampir 130.000 orang Palestina tinggal di dalam atau di
dekat bangunan-bangunan runtuh.
TIME, 7 Maret 1994
Pada
tahun 1994 Orang-orang Yahudi fanatik menyerang Mesjid Ibrahimi selama
waktu sholat, membunuh 40 orang dan melukai seratus lainnya. Peristiwa
ini menjadi sampul depan majalah Time.
Pembantaian di Mesjid Ibrahimi, 1994: 50 tewas
Pada
hari Jum’at, 25 Februari 1994, suatu pembantaian mengerikan terjadi di
Palestina. Dalam sebuah serangan yang dilakukan oleh seorang Yahudi
Zionis atas umat Islam yang tengah sholat Jum’at di Mesjid Ibrahimi,
lebih dari 50 orang Islam tewas dan hampir 300 orang luka-luka.
Beberapa orang yang terluka kemudian tewas karena luka yang
dideritanya.
Pembantaian ini dilakukan oleh seorang Yahudi yang
tinggal di pemukiman Yahudi Kiryat Arba di Hebron. Sang teroris juga
menjadi anggota cadangan di angkatan bersenjata Israel dan anggota
sebuah organisasi teroris Zionis. Sumber-sumber di Israel melaporkan
bahwa ia mengenakan seragam militer selama serangan tersebut.
Penyerang
menyusup ke dalam mesjid dan bersembunyi di belakang sebuah tiang
sewaktu orang Islam melaksanakan sholat Subuh. Ketika mereka tengah
rukuk bersama, ia memberondong mereka dengan sebuah senapan mesin.
Menurut laporan saksi mata, ia tidak melakukannya sendiri, ia hanya
menarik picunya saja. Begitu senjatanya kosong, temannya mengganti
dengan yang baru.
Setelah kejadian ini, tentara Israel mengepung
mesjid itu dan mencegah wartawan mendekatinya. Begitu banyak orang yang
tewas ketika para tentara ini menembaki orang-orang Islam Palestina
yang berdemonstrasi di sekitar mesjid untuk memprotes serangan
tersebut.
Pembantaian Qana, 1996: 109 tewas
Lebih dari 100
orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, kehilangan jiwanya di kamp
pengungsi Qana ketika mereka dibom oleh angkatan udara Israel.
Pemandangan mengerikan karena pembantaian ini, termasuk anak-anak yang
dipenggal kepalanya, tidak akan pernah terlupakan. Suatu tim pemeriksa
dari PBB memastikan bahwa pembantaian ini disengaja.
Pembantaian Sabra dan Shatilla
“Saya
harus membawa bayi-bayi dan menaruh mereka di dalam peti-peti berisi
air untuk menghindari api. Ketika saya melihat mereka setengah jam
kemudian, mereka masih membakar tempat itu. Bahkan di kamar mayat pun,
mereka masih melakukan pembakaran selama berjam-jam.” Demikian Dr. Amal
Shamaa dari rumah sakit Barbir, setelah amunisi fosfor Israel dibakar
Beirut Barat, 29 Juli 1982.
Selama
pembantaian di Qana, kekuatan pendudukan Israel menganggap bayi-bayi
yang tengah terlelap pun sebagai musuh mereka dan membunuh mereka tanpa
ragu.
FOTO-FOTO YANG TAK TERLUPAKAN
Foto-foto orang yang dibantai yang terjadi di Qana ini mencerminkan kenyataan sebenarnya kekejaman yang terjadi di Palestina.
Operasi
teroris Zionis untuk menakut-nakuti orang Palestina dan mengusir
mereka dari tanah mereka setelah PD II mengakibatkan kematian ribuan
orang-orang tak berdosa. Namun, serangan Israel atas kamp pengungsi
Sabra dan Shatilla selama penyerangan Libanon 1982 akan tercatat dalam
sejarah sebagai salah satu tindakan pembantaian etnis terburuk yang
pernah dilakukan oleh Zionis. Selama serangan oleh kelompok Phalangis
Kristen Libanon, dengan dukungan dan arahan tentara-tentara Israel,
lebih dari 3000 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, terbunuh.
Penelitian dan penyelidikan setelah itu memperlihatkan bahwa Ariel
Sharon, yang saat itu menteri pertahanan Israel dan sekarang perdana
menteri, bertanggung jawab atas operasi tersebut. Karena serangan
berdarah ini, sekarang pun ia masih dikenal sebagai “Tukang Jagal dari
Libanon.”
Pembantaian mengerikan di kamp pengungsi
Sabra dan Shatilla dilakukan di bawah perintah dan arahan Ariel
Sharon, yang kemudian menjadi Menteri Pertahanan dan sekarang Perdana
Menteri.
Wartawan dan ahli Timur Tengah Robert Fisk melaporkan
pemandangan mengerikan yang ia lihat segera setelah serangan tersebut
dalam sebuah artikel yang ditulis setelah Sharon terpilih sebagai
perdana menteri:
Bagi setiap orang yang berada di kamp
pengungsian Sabra dan Shatilla di Beirut pada 18 September 1982,
namanya (Ariel Sharon) sama artinya dengan penjagalan, dengan
mayat-mayat yang membengkak, dengan wanita-wanita yang terburai isi
perutnya, dengan mayat-mayat bayi, dengan pemerkosaan, dan penjarahan
dan pembunuhan… Bahkan ketika saya berjalan di atas jalan-jalan yang
berbau busuk ini, lebih dari 18 tahun setelahnya… hantu-hantu masih
bergentayangan. Di sana, di sisi jalan yang mengarah ke mesjid Sabra,
berbaring Tn. Nouri, 90 tahun, berjanggut putih, berpiama dengan topi
wol kecil yang masih melekat di kepalanya dan sebuah tongkat di sisinya.
Saya menemukannya di atas tumpukan sampah, di punggungnya… Masih di
jalan yang sama, saya berjalan melintasi dua orang wanita yang duduk
tegak dengan otak tercerai berai, di samping tungku dapur… salah satu
wanita itu kelihatannya lambungnya pun terburai. Beberapa meter jauhnya,
saya menemukan bayi-bayi pertama, sudah menghitam karena membusuk,
bergelimpangan di atas jalanan seperti sampah… lalat-lalat mengerubung
berlomba-lomba di antara mayat-mayat dan muka-muka kami, di antara darah
kering dan catatan wartawan, tangan-tangan dengan arloji masih
berdetak di pergelangan yang mati. Saya naik merangkak ke atas benteng
tanah, sebuah bulldozer yang telah ditinggalkan berdiri di dekatnya
dengan perasaan bersalah, hanya untuk merasakan, bahwa begitu saya
berada di atas gundukan itu, ia bergelayutan di bawah saya. Dan saya
melihat ke bawah untuk menemukan muka-muka, siku-siku, mulut-mulut,
kaki-kaki seorang perempuan menonjol ke luar dari dalam tanah. Saya
harus berpegangan pada bagian-bagian tubuh ini untuk memanjat ke sisi
lain. Lalu di sana ada wanita cantik, kepalanya dikelilingi oleh cahaya
kancing-kancing baju, darahnya masih mengalir dari sebuah lubang di
punggungnya.
Dalam artikel lain, Fisk menggambarkan apa yang ia
lihat ketika mengunjungi rumah-rumah sakit tempat orang-orang terluka
tengah dirawat: “Apa yang kita lihat di sini tidak akan mudah kita
lupakan. Mengunjungi rumah sakit Barbir berarti melihat apa yang
dilakukan berondongan senjata pada daging.”
PEMBANTAIAN SABRA DAN SHATILLA
Kekejaman
yang dialami orang-orang tak bersalah dan mengenaskan ini haruslah
menjadi peringatan bagi ideologi kepemimpinan Israel. Sebagian besar
wanita yang terbunuh itu telah diperkosa. Para wanita hamil dirobek
perutnya sehingga bayi-bayinya bisa direnggut keluar. Anak-anak sekitar
3 atau 4 tahun dibunuh di depan orang-orang tuanya. Kebanyakan lelaki
dipotong telinga dan hidungnya sebelum ditembak mati.
Sebuah
laporan berita tentang pembantaian muncul pada surat kabar Prancis Le
Monde pada 13 Februari 2001. Nihad Hamad, yang berhasil selamat,
sekarang berusia 42 tahun, menggambarkan apa yang telah terjadi:
Angkatan
bersenjata Israel menghabiskan Rabu malam dan Kamis pagi mengepung
kamp tersebut. Mereka ingin menutup sisi timurnya. Para mujahidin kami
telah pergi. Di sini tak ada yang tertinggal selain beberapa anak
berumur 15 atau 16… Pada Kamis malam, pengeboman terjadi dua kali. Kami
sadar bahwa senapan ringan kami tidak akan ada gunanya. Setiap orang
di bangunan ini adalah pengungsi. Setiap orang merasa takut.
Orang-orang lanjut usia dari kelompok ini, orang-orang yang menjadi
panutan, memutuskan untuk pergi menemui orang-orang Israel dan
menyatakan pada mereka bahwa kamp akan menyerah. Dengan bendera putih
di tangan mereka mereka masuk ke mobil dan pergi ke luar. Mereka tidak
pernah kembali. Beberapa lelaki muda pergi dengan senjatanya dan pergi
ke arah yang sama. Mereka pun tidak pernah kembali lagi, demikian pula
orang-orang yang pergi mencari mereka. Kemudian kami sadar bahwa lebih
baik kami meninggalkan tempat ini segera… Ratusan orang melarikan diri
ke suatu tempat persembunyian yang sama di bagian utara kamp. Begitu
banyak di antara kami yang hampir mati lemas. Ketika fajar menyingsing
kesunyian kematian di mana-mana; tempat ini adalah sebuah kota hantu
sekarang. Pengeboman pun berhenti. Satu kali kadang-kadang kami bisa
mendengar satu letusan senjata. Kemudian, dari arah mesjid, jeritan
seorang wanita memecah kesunyian. Rambutnya diacak-acak,
bajunya yang koyak penuh darah. Ia seperti seorang yang hilang ingatan.
Di kakinya ada anak-anak yang tenggorokannya telah digorok…
Mereka berperilaku brutal, dan mereka menggunakan pisaunya dan
alat-alat potong lain untuk melakukan pembunuhan dalam keheningan.
Setelah para milisi menyelesaikan pekerjaannya di kamp tersebut, mereka
menyelesaikan pekerjaan kotornya di Rumah Sakit Gaza. Mereka menyeret
para dokter, perawat, dan yang terluka ke luar rumah sakit dan membunuh
mereka. Jika orang-orang yang hilang dimasukkan, kita tahu bahwa
antara 3000 dan 3.500 orang telah terbunuh.
Sharon
dikenal oleh orang-orang Arab dan seluruh dunia sebagai “Penjagal dari
Libanon,” dan menunjukkan kekejamannya di segala kesempatan.
Pemandangan
mengerikan ini adalah pekerjaan Ariel Sharon, yang dikenal dengan
pernyataannya seperti “Orang-orang Arab mengenal saya, dan saya
mengenal mereka” serta melalui penggambarannya tentang orang Arab
dengan istilah menyakitkan, seperti “hama.” Setelah Perang 1967,
Sharon menyebabkan 160.000 orang Palestina meninggalkan Yerusalem Timur
dan menjadi pengungsi. Teknik hukumannya meliputi pengeboman rumah,
pembongkaran kamp pengungsi, dan penahanan ratusan pemuda tanpa alasan
lalu menyiksa mereka. Ketika Sharon menjadi penanggung jawab keamanan
di Jalur Gaza, ratusan orang Palestina dibunuh, ribuan ditahan dan
diusir dari Palestina, dan di Gaza saja 2000 rumah telah dihancurkan
dan 16.000 orang diusir untuk kedua kalinya. Pada saat pembantaian
Sabra dan Shatilla, 14.000 orang (termasuk 13.000 orang sipil tak
bersenjata) meninggal di tempat itu dalam beberapa minggu, dan sekitar
setengah juta orang kehilangan tempat tinggal.
Kekejaman dan
kebrutalan yang digambarkan di sini terjadi terus menerus di tanah
Palestina selama 50 tahun terakhir. Bahkan, contoh-contoh yang
disebutkan di atas hanyalah pembantaian ketika banyak orang-orang
Palestina kehilangan jiwanya dalam satu hari saja. Kejadian yang
serupa, di antara banyak lainnya, adalah sebagai berikut: 8 orang di
al-Sammou, 1966; 7 orang di Adloun, 1978; 80 orang di Abbasieh, 1979;
dan 20 orang di Saida, 1980. Di luar ini, beberapa orang terbunuh atau
dibantai setiap hari selama bertahun-tahun. Dan setiap hari rumah-rumah
masih saja dihancurkan dan orang-orang masih diusir dari tanah air
mereka. Jelas, tujuan akhir Israel adalah untuk menakut-nakuti
orang-orang Palestina, mengusir mereka dari tanahnya, dan menundukkan
orang Palestina kepada keinginan mereka melalui sebuah kebijakan
pembersihan etnis yang terencana.
Seluruh dunia menyaksikan
ketika masyarakat ini dibantai, sewaktu mereka menghadapi pembasmian
bangsa yang terang-terangan. Karena alasan tertentu, sebagian besar
pemerintahan telah dan tetap mengabaikan praktek-praktek brutal dan tak
berprikemanusiaan ini dan tidak menjatuhkan sanksi apa pun selain dari
“mengutuk” pada saat tertentu saja.
Dalam karya klasiknya World
Orders: Old and New, pengamat Timur Tengah Noam Chomsky menggambarkan
pandangan pemerintah Israel tentang orang Palestina dan bagaimana ahli
strategi Amerika menilai pandangan ini:
Tentang orang-orang
Palestina, pejabat AS tidak punya alasan untuk mempertanyakan pendapat
ahli pemerintahan Israel pada tahun 1948, bahwa para pengungsi harus
bercampur dengan penduduk di negeri lain atau “akan diremukkan”:
“beberapa di antara mereka akan mati dan sebagian besar mereka akan
kembali ke debu dan sampah masyarakat, dan bergabung dengan kelompok
termiskin di negara-negara Arab.” Oleh karena itu, tak perlu menyusahkan
diri karena mereka. Penilaian seperti ini tetap berlaku hingga hari
ini, bahkan menjadi kenyataan sewaktu kejadian-kejadian tersebut
terungkap.
Ramalan pejabat berwenang di Amerika dan Israel telah
terwujud hari ini. Bahkan, kebijakan kekerasan dan intimidasi atas warga
Palestina yang dilakukan selama masa pendirian Israel dan tahun-tahun
pertama tetap tak mereda setelahnya.
Orang-orang Islam Palestina
menghadapi cobaan dan kejahatan yang serupa seperti yang dialami oleh
umat Islam sepanjang sejarah. Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan
orang-orang beriman tentang suatu masa (Bani Israil) mengenai kekerasan
Fir’aun:
Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari
(Fir’aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan
yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan
membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian
itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu. (Qur’an, 2:49)
Jelaslah,
Allah membantu orang-orang yang sabar, dan berdasarkan hukum-Nya,
keselamatan selalu dinikmati orang-orang beriman yang benar, meskipun
jumlah mereka sedikit, lemah, atau tertindas. Namun, kita juga harus
mengetahui bahwa cobaan ini bukan hanya untuk orang-orang Islam di
Palestina; Bahkan, cobaan ini semestinya dirasakan semua orang yang
menyaksikan atau mengetahui kekejaman ini. Ini karena siapa pun dan
bagaimana pun keadaannya, orang-orang Islam berkewajiban membantu
orang-orang yang dizalimi dan tertindas. Dan pertolongan terbesar yang
bisa mereka berikan adalah mengatasi kekejaman ini dari akarnya. Dengan
kata lain, bantuan terbesar yang bisa diberikan manusia kepada
orang-orang Palestina yang terus berjuang untuk kehidupan mereka di
tengah-tengah kekacauan dan kesulitan yang terus terjadi adalah
melakukan perjuangan pemikiran melawan paham dasar Zionisme: sikap
Darwinistis Sosial, yang menyebabkan perpecahan, kekacauan, dan
kekerasan.
0 komentar:
Posting Komentar